Back to Featured Story

Tentang Komunitas

Kemarin, saya melihat seekor kadal yang sedang membesar saat mati, dibantu oleh semut. Secara perlahan, ia tidak lagi menyerupai kadal. Dengan bantuan semut, ia berevolusi menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Saya tidak bisa mengalihkan pandangan.

Orang lain mungkin telah melihat pembunuhan. Yang lain lagi, kecepatan semut. Namun bagi saya, pemandangan itu terasa sakral. Pemandangan itu bertahan selama berjam-jam di bawah semak palem, tempat debu dan bayangan menebal menjadi bentuk yang bergerak dan menari di lantai keramik. Di sana lebih sejuk.

Aku sedang menyapu halaman. Setiap kali aku lewat, tubuhku seakan berubah—udara dingin menyentuh kulitku, keheningan mencekam mengikuti anggota tubuhku. Aku hampir bisa mendengar alunan selo di kejauhan. Aku merasa diundang ke sebuah upacara. Seekor kadal, menjadi lebih dari sekadar kehidupannya.

Melihat kadal itu melebur menjadi sesuatu yang lebih dari dirinya sendiri, saya memikirkan tentang bentuk lain dari proses menjadi—yang telah saya saksikan selama setahun. Benih kenangan itu tersimpan dalam diri teman saya, seorang pengumpul benih, yang menjelajahi dunia dengan langkah santai, punggung ramping, dan banyak cerita di tasnya.

Saya pernah menjadi tukang kebun yang tercengang, melihat tanaman tomat saya yang berharga layu meskipun saya sudah berusaha sebaik mungkin. Dia, yang selalu mengembara, mengumpulkan benih dari negeri yang jauh—kapsul kecil yang berisi kebodohan dan kebijaksanaan. Dia pernah berkata kepada saya:

"Pengumpulan benih mengajarkan Anda bagaimana kehidupan sebenarnya bekerja."

Tanaman tomat saya, yang sakit karena perjalanan panjang dalam bungkusan benih, berjuang untuk diterima. Tanahnya masih asing bagi mereka. Tanahnya, masih asing. Banyak yang tidak bertahan hidup pada generasi pertama atau kedua. Namun pada saat-saat itu, urat-uratnya yang berwarna ungu dan kuning mengirimkan undangan—panggilan bahaya.

Lalu mereka pun datang. Kutu daun. Cacing tanah. Tungau laba-laba. Kumbang kutu. Trips. Gastropoda. Di sini, bahkan siput Afrika pun menanggapi setiap panggilan bahaya—dan jumlahnya banyak.

Pada hari-hari ketika tanaman tomat generasi pertama dan kedua menyerah, saya melihat mereka berubah—perlahan tapi pasti—menjadi ngengat dan kupu-kupu. Saya melihat mereka mengembangkan sayap dan terbang—menjadi paruh burung flycatcher yang menari yang menunggu di dekat rumah kami setiap tahun dari September hingga Oktober.

Begitulah yang selalu terjadi padaku.

Orang-orang ada di latar belakang; latar depan saya adalah momen saat ini. Tidak pernah kosong. Selalu kanvas—Kupu-kupu. Daun kering. Ranting yang suka saya pegang. Kotoran cacing menyentuh tumit saya. Suara burung. Kejutan yang tenang karena bertemu dengan burung Shikra. Seekor burung drongo berekor raket berlama-lama saat ibu saya makan siang ulang tahunnya.

Beginilah dunia datang kepadaku. Aku melangkah ke dunia manusia melalui cermin dunia yang lebih dari sekadar manusia, menemukan ketenangan dalam rasa aman yang sudah kukenal.

Saya dapat mengingat jam-jam yang dihabiskan untuk memanjat pohon, menelusuri kulit pohon dengan jari-jari saya. Namun, bagaimana saya mengukur momen-momen ketika bumi di bawah saya berubah menjadi keindahan, keajaiban, dan teh?

Bagaimana saya menghitung waktu yang telah saya habiskan untuk berdiri sebagai penjaga diam, menanti hujan bersama ribuan makhluk yang hanya bisa minum saat hujan turun?

Saya menunggu bersama mereka karena saya menikmati kebersamaan dengan mereka. Itu adalah persahabatan yang paling alami yang saya tahu.

Sebelum aku mencintai bunga, aku mencintai batu.

Saya juga punya preferensi di sini. Api berbicara kepada saya dengan geraman lapar, terkadang membakar dari balik api. Namun, saya selalu menjadi bagian dari Bumi. Langit. Air. Api butuh waktu untuk menjadi teman.

Di dunia yang lebih dari sekadar manusia, aku bernapas lebih baik. Angin berembus melalui tulang rusuk, jaringan paru-paru melingkari rasa sakit di mana tulang-tulangku menahan kekencangan. Getaran di dadaku. Desahan pelan sebelum aku tahu aku membutuhkannya. Perhatian melunak di tepi kesadaranku, dan aku bernapas.

Kemarin, seekor kadal yang sekarat, ranting mangga, dan hujan musim panas pertama menenangkan saya dari pertanyaan yang masih menghantui: Apakah kita spesies yang ganas?

Saya menemukan jawaban saya di musim panas.

Musim panas—satu kata, tetapi tidak pernah sama dari satu saat ke saat berikutnya. Panas yang menyengat tidak konstan. Tidak sepanjang hari, tidak sepanjang jam, bahkan tidak sepanjang desa dan kota. Di sini, musim panas kita memiliki suasana hati.

Matahari bersinar terik di siang hari. Namun, tidak semua siang hari teriknya sama.

Beberapa hari, seperti kemarin, musim panas membawa embun. Ibu dan saya mencoba untuk membuat hujan dari embun. Berhasil—pada malam hari, lama setelah kami pasrah dengan ketiadaan embun.

Jadi, ketika saya melihat lebih dalam, segalanya berubah.

Napasku berubah terlebih dahulu.

Namun tiba di sini, pada napas ini, membawa seekor kadal, ranting, dan kenangan akan pohon mangga yang dulunya menghadap ke sebuah kolam. Sebuah kolam tempat burung bangau mematuk lubang air. Tempat katak Jaladhara yang berlarian memanggil hujan.

Melalui dunia yang lebih dari sekadar manusia, saya menemukan rasa aman untuk melihat lagi—pada orang-orang yang penting bagi saya.

Ayah saya melangkah ke halaman. Seorang patriark, tetapi di mata saya, ia perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar orang tua—terutama dengan janggut putih mutiara yang telah tumbuh selama berbulan-bulan sekarang. Tidak lagi hanya sebagai pemegang otoritas, tetapi sosok yang bermartabat yang terungkap dengan cara yang lebih tenang dan lebih manusiawi.

Pemahaman saya tentang dunia manusia selalu terpecah-pecah, terjerat oleh gagasan-gagasan yang berbeda. Saya ingat masa-masa yang lebih mudah, tetapi dunia yang bernyawalah yang telah menjadi penjaga kewarasan saya.

Di dunia manusia, saya membutuhkan konsep.

Ketika saya tidak dapat memahami fluiditasnya, saya menjadi sangat reduksionis, mengecilkan hidup saya ke dalam ruang sekecil mungkin—setidaknya, berusaha untuk tidak berbahaya. Namun, bahkan di ruang itu, saya teringat akan potensi biji sesawi. Kecuali saya bukan biji sesawi. Saya mengoceh dengan cara yang berbeda. Saya berkembang dengan cara yang berbeda. Saya berpacu dengan dunia—mengejar pusat, puncak, lingkaran, piramida, dan semacamnya. Kadang-kadang, tubuh saya yang lembut mencapai kelembutannya sendiri, otot-otot yang licik menggantung di sekitar napas pada jalinan tongkat yang menari dan semacamnya.

Sekarang saya bisa melihat dengan jelas.

Aku tidak bisa hidup tanpa gagasan. Aku tidak bisa hidup tanpa teman.

Saya telah menghabiskan waktu dengan metafora. Sebagian orang menyebutnya mistisisme. Namun, tidak ada yang lebih meyakinkan daripada membiarkan gagasan larut dan mengalir. Agar gagasan itu tumbuh, ia membutuhkan ruang dalam diri saya.

Di latar depan, kanopi yang menjulang tinggi menawarkan banyak teman.

Sajian sederhana—sayuran akar yang dimasak di atas bara api, dimakan dengan cabai yang dihancurkan. Rasa pedas capsaicin membakar lidah saya—rasa tanah, buah, dan segar. Saya teringat burung beo, yang tidak terbakar oleh api cabai, dan saya tersenyum.

Para wanita di lingkungan itu mengawasi orang-orang yang lewat, selalu mencari teman. Ketiga saudara perempuan, yang sudah dewasa, melambaikan tangan ke arahku.

Mereka selalu mengingat masa-masa indah di jalan ini.

"Tempat ini tidak memiliki semua toko. Ini adalah rumah."

"Lihat gedung-gedung itu? Dulu, ada pepohonan di sana. Monyet tinggal di sana. Tepiannya mulus, tidak seperti sekarang!"

Mereka mendesah mengingat masa lalu dan merenungkan keheningan yang menyelimuti mereka saat ini.

Saya tahu ini tentang mereka.

Mereka suka makan sayuran akar dengan cabai yang dihancurkan, seperti saya.

Saya melihat tawa yang sama saat saya melambaikan tangan. Mungkin hari ini, saya akan menghabiskan waktu satu jam lebih lama di tepian yang memisahkan properti kami menjadi "milik kami" dan "milik mereka."

Dan kita akan bergosip seperti burung penyanyi—gosip kota, tentang umbi-umbian dan sebagainya.

Inilah rahasia yang saya ketahui tentang undangan.

Saya selalu memandang keterikatan saya dengan dunia lebih dari sekadar manusia sebagai respons terhadap sebuah undangan.

Ranting. Kadal yang sekarat. Hujan musim panas pertama.

Segala sesuatu memanggil, jika aku mendengarkan.

Namun di dunia manusia, saya telah bergerak secara berbeda. Sebagai seorang pengganggu. Mungkin karena saya tidak pernah melihatnya sebagai dunia yang mengundang. Dengan skor yang sama dalam pikiran, saya cenderung menyamakan skor, dengan atau tanpa menyadarinya.

Penderitaan sungai. Saat sungai memuntahkan kembali plastik ke tepian dan mengalir terus, acuh tak acuh, seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun semuanya membengkak, dengan ruang untuk undangan.

Inilah rahasia yang saya simpan.

Seseorang juga harus memahami sifat undangan di dunia manusia.

Jadi, saya mengirimkan undangan saya ke seluruh dunia.

Dan ada tawa.

Seperti nafas, antara aku dan yang lain, tak terpisahkan.

Share this story:

COMMUNITY REFLECTIONS

11 PAST RESPONSES

User avatar
Allie Mar 21, 2025
tenderness and connectedness
User avatar
Alice Grossmann-Güntert Mar 21, 2025
Dear Tess James...explore syntropic farming..and integrate into your passion.. Syntropic farming will influence all human beings who have lost the gifts that you have to re-acquire those ancient murmurings..
User avatar
Traci Craig Mar 20, 2025
I was just having a conversation with a friend today, about the need for life to come to a screeching halt for humanity in our country. This was God's will as a friendly minder of what is being missed when one does not do as Tess described here. The tranquility evoked by the treasures around us, always....Thank you for the simplicity and eloquence whispered through thoughts of awareness.
User avatar
Freda Karpf Mar 20, 2025
this is so very beautiful. i think there are many of us that live in the world with the same sense of belonging. always my favorite word and used so perfectly here. thank you
User avatar
Lulu Mar 20, 2025
Beautiful and evocative. Living within our precious world. Mother Nature beckons with each moment as we stop outside. Listening to wind, bird call and soaking in blessed sunlight and rain….appreciating all living creatures that appear upon our path. I can really relate to her openings to listening and presenting to our native world….
User avatar
MI Mar 20, 2025
Reading this was Breathing Deeply…
Deep Thanks….🙏🏽
User avatar
Rajat Mishra Mar 20, 2025
An artistic representation of facts, life, truth, and words—all come together, shaping meaning in the minds of readers.
User avatar
Cacá Oliveira Mar 20, 2025
O mundo de convites "ouça"
User avatar
Christine Mar 20, 2025
oh .... so pro foundly beauty full and descriptive of my own lived experience in the beyond "experience". how lovely.
User avatar
Rita Mar 20, 2025
Wow!! so beautifully written… I also am much more at home in nature than I am with people. But, I certainly need and love people and as a journey in this life, I hope to make closer connections… It’s just unraveling to observe the rivers, coughing up plastic… Thank you for putting feelings into words
User avatar
Eileen Bloomer Mar 20, 2025
So lovely! Thank you.